Perekonomian Indonesia-Softskill

Kebijakan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)  
Tahun 2014
Disusun untuk memenuhi tugas Dasar Pemasaran
Dosen: Aditya Rian Ramadhan, SE
  Disusun Oleh:
Nama               : Yasi Mardika
Kelas                : 1EB02
NPM                : 2C214361

Accounting of Gunadarma University
ATA 2014/2015
Kebijakan Subsidi Bahan Bakar Minyak Tahun (BBM) 2014
Ø Abstrak

Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tampaknya selalu menjadi persoalan yang tidak pernah  terselesaikan  di  Indonesia.  Saat  ini  persoalan  tersebut  merupakan  agenda terbesar yang dianggap membebani fiskal,  terlebih produksi minyak bumi Indonesia semakin merosot dan masuk menjadi negara pengimpor minyak. Resiko domestik berupa pembengkakan subsidi BBM akan mendorong pelebaran defsit  fskal sehingga dapat mengganggu perekonomian nasional. Besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN juga mempersempit porsi belanja produktif seperti, misalnya infrastruktur. Meskipun ada beberapa dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM seperti naiknya harga komoditas pokok, pengurangan tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah.BBM merupakan komoditas yang sangat vital yang memegang peranan penting dalam menggerakkan perekonomian terutama di negara Indonesia.

Ø  Pendahuluan

Kebutuhan BBM membumbung tinggi seiring dengan pertumbuhan industri, transportasi,   dan kenaikan     jumlah     kendaraan     bermotor yang beredar. Bahkan pada tahun 2008, Indonesia keluar dari OPEC, organisasi eksportir minyak dunia karena Indonesia harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat. Pemerintah memberi subsidi untuk setiap liter BBM jenis premium dan solar yang beredar di pasaran. Pada awalnya, tidak ada masalah dengan   keuangan pemerintah karena masih mampu membiayai subsidi BBM. Namun demikian, harga minyak dunia terus berfuktuasi  dan cenderung mengalami kenaikan   sehingga   keuangan   pemerintah pun tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan   subsidi   BBM   ini.   Pemerintah pun   mulai   melakukan  sejumlah   program yang dinilai bisa menghemat penggunaan BBM bersubsidi. Langkah yang diambil adalah program gerakan pembatasan BBM bersubsidi  dengan  mengalihkan  konsumsi BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi (pertamax dan pertamax plus). Gerakan ini kurang berjalan dengan sukses, mengingat disparitas harga antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi yang tinggi.
Subsidi BBM tampaknya selalu menjadi persoalan  yang  tidak  pernah  terselesaikan di Indonesia. Oleh karena itu, isu ini harus menjadi salah satu program utama yang harus diselesaikan oleh pemerintahan mendatang. Jika sebelum dekade 2000-an, subsidi BBM bukan menjadi masalah utama dalam wacana pembangunan namun pada dekade ini ia merupakan agenda terbesar yang dianggap membebani fskal. Apalagi produksi minyak bumi Indonesia semakin merosot dan Indonesia masuk menjadi negara pengimpor minyak. Kalangan analis memperkirakan 22 tahun lagi sumber BBM akan habis kecuali ditemukan sumur baru. Badan Keuangan Fiskal menganalisis bahwa mayoritas konsumen BBM adalah golongan masyarakat menengah ke atas. Konsumsi premium bersubsidi selama tiga tahun terakhir rata-rata meningkat sebesar 10 persen dan solar 9 persen. tidak ada kenaikan harga, BBM bersubsidi akan melebihi kuota yang telah ditetapkan pemerintah.

Ø  Risiko Pembengkakan Subsidi BBM

Resiko domestik berupa pembengkakan subsidi BBM akan mendorong pelebaran defsit  fskal  sehingga dapat mengganggu perekonomian nasional. Saat ini, perekonomian Indonesia terus bergerak menuju ke arah yang seharusnya di mana tekanan infasi  terus menurun, disertai dengan  pergeseran  struktur  perekonomian ke arah yang lebih sehat. Namun, Indonesia harus tetap waspada karena tahun 2014 masih terdapat beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik.
Dari sisi eksternal terdapat risiko bahwa berbagai permasalahan ekonomi global  yang  terjadi  di  tahun  2013  masih akan berlanjut. Risiko eksternal ini dapat kembali mengancam kestabilan nilai tukar Rupiah. Besarnya subsidi BBM akan selalu menjadi masalah bagi pemerintah yang akan datang. Realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga 28 Februari 2014 mencapai 7,26 juta kl atau  sekitar 15  persen  dari kuota  tahun 2014 sebanyak 47,36 juta kl. Realisasi itu terdiri  atas  4,6  juta  kl  premium  dan  2,48 juta kl solar. Konsumsi premium naik 0,6 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu, sementara konsumsi solar naik 2,24 persen. Konsumsi BBM per akhir  Februari  tercatat  sebesar  15  persen dari total kuota sehingga dikhawatirkan jika 2014 akan membengkak sekitar Rp30 triliun menjadi Rp240 triliun dari pagu anggaran yang ditetapkan sebesar 210,7 triliun rupiah. Perkiraan tersebut disebabkan karena anggaran subsidi BBM 2014 sebesar 210,7 triliun rupiah dibuat dengan asumsi kurs Rp10.500 per dolar AS.
Para pembuat kebijakan bisa belajar dari kejadian tahun lalu di mana data realisasi subsidi BBM tahun 2013 yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014 untuk tahun 2013 hanya 51,1 triliun rupiah. Adapunrealisasi  subsidi  BBM  tahun  2013  sekitar 210 triliun rupiah. Jika ditambah dengan subsidi BBM yang belum dibayar pemerintah sebesar 40 triliun, berarti pelonjakannya sudah hampir lima kali lipat. Jika subsidi BBM melonjak, subsidi listrik otomatis membengkak. Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia memperkirakan realisasi subsidi BBM akan mencapai 267 triliun rupiah. Akibatnya, subsidi listrik pun diperkirakan membengkak dari semula 71 triliun rupiah menjadi 103 triliun rupiah. Dengan demikian, subsidi keduanya menjadi 370 triliun rupiahatau 30 persen  dari  penerimaan  pajak.  Sementara itu, pemerintah pusat wajib mengalokasikan sekitar 586 triliun rupiahuntuk daerah (48 persen dari penerimaan pajak). Gaji dan belanja barang 445 triliun rupiah(37 persen). Jadi, untuk subsidi BBM dan listrik, transfer ke daerah, serta gaji dan belanja barang sudah tersedot 1.401 triliun rupiah, padahal penerimaan pajak hanya 1.216 triliun rupiah. Kenaikan subsidi BBM otomatis menaikkan pos belanja lainnya sehingga memperbesar  volume  APBN.  Oleh  karena itu,    pemerintah    perlu    merombak    total cara penyusunan APBN, dimulai dengan meminimalkan faktor-faktor yang paling sensitif terhadap perubahan besaran APBN seperti subsidi BBM.

Ø Opsi Untuk Subsidi BBM

Besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN mempersempit porsi belanja produktif seperti infrastruktur. Apabila tidak ada roadmap restrukturisasi subsidi BBM, APBN akan terbebani dan rentan terhadap gejolak nilai tukar, harga minyak mentah dunia, dan pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi. Dorongan untuk merestrukturisasi skema subsidi  BBM  juga  muncul  dari  kajian eratnya hubungan antara subsidi BBM yang tidak tepat sasaran dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan di Indonesia. Dalam rangka mencegah pembengkakan konsumsi BBM, pemerintah berencana untuk melakukan pengurangan subsidi BBM. Rencana tersebut tentunya banyak memberikan dampak positif, di antaranya penghematan terhadap keuangan pemerintah sehingga bisa dialihkan untuk mendanai  program  lain  yang  lebih  tepat guna  dan  tepat  sasaran.  Penghematan  ini juga bermanfaat dalam mengurangi defsit anggaran, kontrol terhadap konsumsi BBM, penghematan    sumber    daya    alam    tidak terbarukan. Di atas itu semua, langkah ini juga menjadi wahana dalam pengembangan energi alternatif yang lebih murah, kelestarian  lingkungan  yang  berdampak pada berkurangnya biaya kesehatan yang dikeluarkan  oleh  udara  yang  tercemar residu pembakaran BBM, mengurangi penyelundupan BBM bersubsidi dan menekan permintaan kendaraan bermotor.
Rencana pengurangan subsidi BBM, bagaimana pun juga berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif seperti naiknya harga BBM bersubsidi, naiknya harga komoditas yang diperdagangkan dan komoditas-komoditas yang tergolong kebutuhan pokok, turunnya daya beli masyarakat, potensi kerugian karena penurunan penjualan dan naiknya biaya operasional pada produsen-produsen komoditas yang bukan merupakan prioritas masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, potensi  terjadinya  pemutusan  hubungan kerja akibat kerugian perusahaan pun tidak terelakkan. Usaha Kecil Menengah pun terancam  kerugian  karena  turunnya  daya beli masyarakat dan kemungkinan tidak tercapainya target infasi  yang ditetapkan pemerintah. Untuk menjalankan rencana pengurangan subsidi BBM, Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memberikan dua opsi, pertama, memberikan  subsidi  tetap  (fx subsidy) dalam tiap liter BBM bersubsidi. Jadi, harga BBM bersubsidi akan bergerak mengikuti pergerakan harga keekonomian. Tetapi, opsi ini masih kurang tepat diaplikasikan ketika volatilitas harga minyak tinggi. Pemerintah misalnya,  mematok  subsidi   Rp3.000  per liter,   jika   harga   keekonomian   premium Rp 10.000, maka harga yang dijual ke masyarakat Rp7.000 per liter. Namun jika harga keekonomian naik jadi Rp 11.000 per liter, harga jual premium bersubsidi menjadi Rp8.000 per liter. Demikian pula jika harga keekonomian     turun menjadi Rp9.000 per liter, harga jual premium bersubsidi menjadi Rp6.000. Kedua adalah menaikkan harga BBM subsidi secara berkala setiap 6 bulan sekali sehingga pada akhirnya harga BBM bersubsidi akan mencapai harga keekonomian.
Kedua opsi tersebut juga mempunyai kelebihan  masing-masing.  Opsi  pertama akan  membuat APBN terbebas dari fuktuasi Indonesian   Crude   Price   (ICP)   dan   nilai tukar  rupiah  sehingga  cukup  memastikan konsumsi BBM dikendalikan sesuai kuota. Sementara untuk opsi kedua, jika kondisi harga naik secara gradual, ekspektasi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah bisa diantisipasi. Dengan adanya opsi-opsi ini tentu akan ada penghematan yang bisa dimanfaatkan untuk  penggunaan  pembiayaan  lain, misalnya  Program  Percepatan  dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S), yang meliputi peningkatan kuantitas beras yang dapat dibeli oleh rumah tangga miskin melalui Program Beras Miskin (Raskin), peningkatan cakupan dan nilai manfaat bantuan tunai bersyarat Program Keluarga Harapan (PKH) dan perluasan cakupan dan manfaat program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Untuk memperbaiki mekanisme penetapan sasaran agar P4S diterima oleh Rumah Tangga yang berhak, maka perlu diterapkan   Kartu   Perlindungan   Sosial (KPS)  yang  dapat  dipergunakan  oleh Rumah Tangga Sasaran berdasarkan Basis Data Terpadu. Sementara, dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok rumah tangga miskin dan rentan maka diperlukan inisiatif kebijakan seperti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Melalui program ini, pemerintah akan memberikan dana tunai secara langsung kepada rumah tangga miskin dan rentan dengan besaran bantuan senilai Rp150.000/bulan untuk jangka  waktu  4  bulan.  Relokasi  anggaran dari pengurangan subsidi BBM juga bisa digunakan untuk Program Percepatan dan Perluasan Pembangunan Infrastruktur (P4I), yang mencakup Infrastruktur Permukiman (P4-IP), Sistem Penyediaan Air Minum (P4- SPAM) dan Infrastruktur Sumber Daya Air (P4-ISDA).


Sumber:


Komentar

Postingan Populer